Mendesain Rumah Islami

Dirangkum dari majalah Nikah, vol 6 Nov 2007

Punya rumah itu impian semua orang, apalagi bagi yang sudah berumah tangga. Rasanya belum lengkap kalau belum punya rumah.

Sebagai seorang muslim, hendaknya kita memperhatikan beberapa aturan Islam dalam menata atau mendesain rumah. Juga memperhatikan lingkungannya.

Rumah ibarat cermin penghuninya
Rumah adalah cermin bagi penghuninya. Bagi mereka yang menyukai kebersihan, maka akan tampak keadaan rumahnya selalu bersih. Bagi mereka yang suka seni dan keindahan, maka akan tampak bangunan rumahnya berarsitektur indah dan dikelilingi oleh aneka rupa bunga dan ornamen2 lain yang bernilai seni dan keindahan. Demikian juga bagi mereka yang mempunya ghirah Islam dan mencintai sunnah, maka akan tampak desain dan ornamen2 rumahnya sedikit banyak akan tersentuh corak Islam dan mengikuti gaya sunnah.

Jangan bermegah-megahan
Bagi seorang muslim, janganlah rumah dijadikan wahana ajang pamer dan gengsi sehingga menjadikan sibuk berlomba2 dalam mempermegah rumah. Janganlah melalaikan dan melupakan berlomba2 yang lebih baik dari itu, yaitu berlomba2 dalam kebaikan dan takwa. Hal ini sebagaimana firman Allah, 'bermegah2an telah melalaikan kamu."

Cara mendesain rumah islami
Walaupun Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam sendiri tidak memberikan contoh dalam mendesain rumah, tapi dari sunnah2 yang ada, hendaknya itu dijadikan acuan/pegangan kita dalam membuat dan mendesain sebuah rumah.
Diantara hal2 yang harus diperhatikan adalah:

1. Tidak perlu meminta petunjuk dari orang pintar/paranormal untuk menentukan hari dan tanggal yang baik dalam membuat rumah karena semua hari dan tanggal itu baik disisi Allah. Mempercayai hal2 yang berbau takhayul bisa membuat kita jatuh dalam perbuatan syirik.

2. Karena rumah adalah kehormatan dan rahasia, maka jangan membuat rumah yang banyak kaca tembus pandangnya hingga memungkinkan orang luar bisa melihat ke dalam rumah kita. Hal ini untuk menjaga rahasia dan aurat keluarga kita.

3. Akan lebih baik jika kita membuat rumah dengan kamar yang banyak sehingga kita bisa memisahkan kamar anak laki2 dan perempuan. Juga jika sewaktu2 ada tamu yang ingin bermalam, kita bisa membantunya menyediakan kamar. Tapi hendaknya kamar untuk tamu terpisah dari ruang keluarga sehingga tidak memungkinkan tamu bisa melihat dengan bebas ruang keluarga.

4. WC atau toilet hendaknya dibuat tidak menghadap/membelakangi kiblat karena ada larangan Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam. Meskipun ada khilaf, jika tertutup dengan bangunan maka diperbolehkan. tapi untuk kehati2an lebih baik menghadap ke arah lain.

5. Jangan meninggikan bangunan, karena itu termasuk tanda2 hari kiamat sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam ketika ditanya oleh malaikat jibril.

Jadi... rumah yang baik bukanlah rumah mewah yang berarsitektur tinggi dan mahal, tetapi rumah yang didesain dengans entuhan sunnah nabi. Yang tak kalah penting, jangan lupa membangun keimanan kita agar lebih mantap dan tidak goyah oleh2 gelombang2 perusak iman.

Pendidikan Anak dalam Islam

Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.

Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah ‘azza wa jalla terhadap pendidikan putra-putri islam.
Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)

Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban”

Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:

1. Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak

Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid dia pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia serta kekekalan di dalam adzab neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki” (An- Nisa: 48)

Oleh karena itu, di dalam Al-Quran pula Allah kisahkan nasehat Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”.(Luqman: 13)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Ibnu Abbas bercerita,

“Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering lembaran-lembaran”.

Perkara-perkara yang diajarkan oleh Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas di atas adalah perkara tauhid.

Termasuk aqidah yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini adalah tentang dimana Allah berada. Ini sangat penting, karena banyak kaum muslimin yang salah dalam perkara ini. Sebagian mengatakan bahwa Allah ada dimana-mana. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ada di hati kita, dan beragam pendapat lainnya. Padahal dalil-dalil menunjukkan bahwa Allah itu berada di atas arsy, yaitu di atas langit.

Dalilnya antara lain,

“Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy” (Thaha: 5)
Makna istiwa adalah tinggi dan meninggi sebagaimana di dalam riwayat Al-Bukhari dari tabi’in.

Adapun dari hadits,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang budak wanita, “Dimana Allah?”. Budak tersebut menjawab, “Allah di langit”. Beliau bertanya pula, “Siapa aku?” budak itu menjawab, “Engkau Rasulullah”. Rasulllah kemudian bersabda, “Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita mu’minah”. (HR. Muslim dan Abu Daud).

2. Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah

Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari tatacara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Al-Bukhari).

“Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika mereka berusia sepuluh tahun (bila tidak mau shalat-pen)” (Shahih. Lihat Shahih Shahihil Jami’ karya Al-Albani).

Bila mereka telah bisa menjaga ketertiban dalam shalat, maka ajak pula mereka untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Dengan melatih mereka dari dini, insya Allah ketika dewasa, mereka sudah terbiasa dengan ibadah-ibadah tersebut.

3. Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak

Dimulai dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Dan menyediakan guru khusus bagi mereka yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits. Begitu pula dengan doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka mulai menghapalkannya, seperti doa ketika makan, keluar masuk WC dan lain-lain.

4. Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia

Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, dll.
Begitu pula dengan akhlak. Tanamkan kepada mereka akhlaq-akhlaq mulia seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlaq lainnya.

5. Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan

Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan diharamkan, seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orang tua dan segenap perbuatan haram lainnya.

Termasuk ke dalam permasalahan ini adalah musik dan gambar makhluk bernyawa. Banyak orangtua dan guru yang tidak mengetahui keharaman dua perkara ini, sehingga mereka membiarkan anak-anak bermain-main dengannya. Bahkan lebih dari itu –kita berlindung kepada Allah-, sebagian mereka menjadikan dua perkara ini sebagai metode pembelajaran bagi anak, dan memuji-mujinya sebagai cara belajar yang baik!

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda tentang musik,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ اَلْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Sungguh akan ada dari umatku yang menghalalkan zina, sutra, khamr dan al-ma’azif (alat-alat musik)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Abu Daud).

Maknanya: Akan datang dari muslimin kaum-kaum yang meyakini bahwa perzinahan, mengenakan sutra asli (bagi laki-laki, pent.), minum khamar dan musik sebagai perkara yang halal, padahal perkara tersebut adalah haram.

Dan al-ma’azif adalah setiap alat yang bernada dan bersuara teratur seperti kecapi, seruling, drum, gendang, rebana dan yang lainnya. Bahkan lonceng juga, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Lonceng itu serulingnya syaithan”. (HR. Muslim).

Adapun tentang gambar, guru terbaik umat ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) telah bersabda,

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

“Seluruh tukang gambar (mahluk hidup) di neraka, maka kelak Allah akan jadikan pada setiap gambar-gambarnya menjadi hidup, kemudian gambar-gambar itu akan mengadzab dia di neraka jahannam”(HR. Muslim).

إِنِّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَاباً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلْمُصَوِّرُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang paling keras siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para tukang gambar.” (HR. Muslim).

Oleh karena itu hendaknya kita melarang anak-anak kita dari menggambar mahkluk hidup. Adapun gambar pemandangan, mobil, pesawat dan yang semacamnya maka ini tidaklah mengapa selama tidak ada gambar makhluk hidupnya.

6. Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian

Bacakanlah kepada mereka kisah-kisah keberanian Nabi dan para sahabatnya dalam peperangan untuk menegakkan Islam agar mereka mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang pemberani, dan sahabat-sahabat beliau seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah membebaskan negeri-negeri.

Tanamkan pula kepada mereka kebencian kepada Yahudi dan orang-orang zhalim. Tanamkan bahwa kaum muslimin akan membebaskan Al-Quds ketika mereka mau kembali mempelajari Islam dan berjihad di jalan Allah. Mereka akan ditolong dengan seizin Allah.

Didiklah mereka agar berani beramar ma’ruf nahi munkar, dan hendaknya mereka tidaklah takut melainkan hanya kepada Allah. Dan tidak boleh menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor serta menakuti mereka dengan gelap.

7. Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i

Hendaknya anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat.

Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” (Shahih, HR. Abu Daud)

Untuk anak-anak perempuan, biasakanlah agar mereka mengenakan kerudung penutup kepala sehingga ketika dewasa mereka akan mudah untuk mengenakan jilbab yang syar’i.

Demikianlah beberapa tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para orang tua dan pendidik bisa merealisasikannya dalam pendidikan mereka terhadap anak-anak. Dan hendaknya pula mereka ingat, untuk selalu bersabar, menasehati putra-putri Islam dengan lembut dan penuh kasih sayang. Jangan membentak atau mencela mereka, apalagi sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka.

Semoga bisa bermanfaat, terutama bagi orangtua dan para pendidik. Wallahu a’lam bishsawab.

Diringkas oleh Abu Umar Al-Bankawy dari kitab Kaifa Nurabbi Auladana karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu dan hadits-hadits tentang hukum gambar ditambahkan dari Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah karya Syaikh Muqbil bin Hadi.

Segenap Asa dalam Sebuah Nama

Sumber: Blog Anak Muslim
Penulis: Ummu 'Abdirrahman Anisah bintu 'Imran

Memberikan nama yang baik adalah salah satu tugas orang tua bagi anaknya yang baru lahir. Ada aturan-aturan yang harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi pemiliknya.

Sosok mungil itu telah ada dalam dekapan hangat sang ibu. Tibalah saat dia mendengar sapaan sang ayah yang penuh kasih sayang, memanggilnya dengan nama yang diberikan baginya. Nama yang indah, disertai dengan harapan yang membuncah, semoga perjalanan hidup si buah hati kelak akan sebaik nama yang disandangnya.

Barangkali jauh hari sebelum si kecil lahir ke dunia, tak kurang banyaknya nama yang dirancang oleh ayah dan ibu, dilatari oleh sekian banyak pertimbangan. Ada yang ingin menamai anaknya dengan nama tokoh yang dikagumi disertai harapan, anaknya akan sehebat tokoh itu. Ada yang membuat nama dari petikan suatu peristiwa penting untuk mengenang peristiwa itu. Ada pula yang sekedar mempertimbangkan faktor "keren dan enak didengar".

Si kecil tumpuan harapan, sudah semestinya ayah bunda memberikan nama yang terbaik bagi dirinya, nama yang dicintai oleh Rabb semesta alam. Tidak ada jalan lain untuk mendapatkannya, kecuali menelaah kembali, bagaimana Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wasallam menerangkan seputar seluk-beluk nama kepada kita.

Pada hari pertama hadirnya buah hati di dunia, sang ayah boleh memberikan nama padanya. Kita bisa menyimak kisah pemberian nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada putranya, Ibrahim.

"Semalam telah lahir anak laki-lakiku, maka aku beri nama dia dengan nama
ayahku, Ibrahim." (HR. Muslim no. 2315)

Al Imam An Nawawi menjelaskan bahwa kisah ini menunjukkan bolehnya memberikan nama anak pada hari kelahirannya. (Syarh Shahih Muslim, 15/75)

Juga kisah-kisah lainnya ketika para sahabat membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau memberikan nama pada hari itu juga.

Kita lihat dalam kisah kelahiran 'Abdullah bin Az Zubair ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mentahniknya: "Kemudian beliau mengusapnya dan mendoakan kebaikan baginya, serta memberinya nama 'Abdullah." (HR. Muslim no. 2146)

Demikian pula dalam kisah lahirnya 'Abdullah bin Abi Thalhah z, ketika Anas bin Malik z membawanya ke hadapan beliau: "Kemudian beliau mentahniknya dan memberinya nama 'Abdullah." (HR. Muslim no.2144)

Juga ketika Abu Usaid membawa putranya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada hari kelahirannya: "Maka pada hari itu beliau memberinya nama Al-Mundzir." (HR. Al Bukhari no. 6191 dan Muslim no. 2149)

Begitu pula penuturan Abu Musa Al Asy'ari:
"Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma." (HR. Muslim no. 2145)

Namun di sisi lain, kita dengar penjelasan bahwa seorang anak diberi nama pada hari ketujuh, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melalui lisannya yang mulia:
"Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Dawud no. 2838)

Untuk memahami dua sisi ini, kita buka penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar Al 'Asqalani. Beliau mengatakan bahwa anak yang tak hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya tidak ditangguhkan hingga hari ketujuh, sebagaimana yang terjadi dalam kisah Ibrahim bin Abi Musa, 'Abdullah bin Abi Thalhah, demikian pula Ibrahim putra Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan 'Abdullah bin Az-Zubair, karena tidak ada penukilan yang menyatakan bahwa salah seorang di antara mereka diaqiqahi. Sedangkan anak yang hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya ditangguhkan hingga hari ketujuh sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits lain. (Fathul Bari, 9/501)

Pun ayah bunda tak lupa memilihkan nama terbaik bagi anaknya. Namun toh semua itu tetap tak lepas dari tinjauan syariat, ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memberikan tuntunan.

"Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah 'Abdullah dan 'Abdurrahman." (HR. Muslim no. 2132)

Ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ini menunjukkan keutamaan kedua nama itu atas seluruh nama, demikian dijelaskan oleh Al Imam an-Nawawi. (Syarh Shahih Muslim, 14/113 )

Ayah dan ibu pun bisa memilihkan nama dari deretan nama-nama para nabi. Bahkan demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bagi putranya, dan demikian pula yang beliau berikan kepada anak-anak sahabatnya. Beliau berikan nama Ibrahim kepada anak Abu Musa Al Asy'ari, dan Yusuf kepada anak 'Abdullah bin Salam, sebagaimana dikisahkan sendiri oleh Yusuf bin 'Abdillah bin Salam:

"Rasulullah memberiku nama Yusuf dan mendudukkan aku di pangkuan beliau serta mengusap kepalaku." (HR Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad no. 282 bahwa isnadnya shahih)

Tak layak dilalaikan, ada nama-nama yang haram disandang. Kita bisa melihat penjelasan Rasulullah mengenai hal ini.

"Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernama Malikul Amlak (raja dari seluruh raja)." Ibnu Abi Syaibah menambahkan dalam riwayatnya: "Tidak ada raja kecuali Allah." Al Asy'atsi berkata bahwa Sufyan mengatakan: "Seperti Syahan Syah." (HR. Al Bukhari no.6206 dan Muslim no. 2143)

Kita simak ucapan Al Imam An Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa pemakaian nama ini haram, demikian pula memakai nama-nama Allah yang khusus bagi diri-Nya, seperti Al Quddus (Yang Maha Suci), Al Muhaimin (Yang Maha Memelihara), Khaliqul Khalq (Pencipta seluruh makhluk), dan sebagainya. (Syarh Shahih Muslim, 14/122)

Penamaan yang terlarang ini tidak hanya mencakup dalam lafadz bahasa Arab, namun lafadz dalam bahasa lain apabila maknanya demikian pun terlarang. Kita lihat dalam hadits di atas, Sufyan bin 'Uyainah memasukkan nama Syahan Syah – yang bukan berasal dari lafadz bahasa Arab namun bermakna serupa dengan Malikul Amlak – dalam larangan ini.

Hal ini dijelaskan oleh Imam Al Mubarakfuri. Beliau menyatakan bahwa Sufyan bin 'Uyainah memberikan peringatan bahwa nama yang tercela ini tidak terbatas pada Malikul Amlak saja. Akan tetapi, seluruh nama yang menunjukkan makna tersebut dengan bahasa apa pun termasuk dalam larangan ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/102)

Begitu pula nama-nama yang mengandung tazkiyah ataupun nama-nama yang buruk, sehingga didapati kisah-kisah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengganti nama-nama itu dengan nama yang lebih baik. Inilah penuturan 'Abdullah bin 'Umar, mengungkapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

"Anak perempuan 'Umar bin Al Khaththab bernama 'Ashiyah (wanita yang suka bermaksiat), maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberinya nama Jamilah (wanita yang cantik)." (HR. Muslim no. 2139)

Ibnul Atsir mengatakan –dalam penjelasan beliau yang dinukil di dalam 'Aunul Ma'bud– bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengganti nama 'Ashiyah tersebut karena syi'ar seseorang yang beriman adalah taat kepada Allah, sementara kemaksiatan adalah lawan dari ketaatan. ('Aunul Ma'bud, 13/201)

Selain itu, ada pula putri Abu Salamah yang semula bernama Barrah (wanita yang suci) kemudian diganti oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan nama Zainab. Dia mengisahkan sendiri peristiwa ini:
"Dulu aku bernama Barrah, kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberiku nama Zainab." (HR. Muslim no. 2142)

Bahkan kedua istri beliau, Zainab bintu Jahsy dan Juwairiyah bintu Al Harits, semula bernama Barrah, kemudian beliau mengganti nama mereka berdua. (HR .Muslim no. 2140 dan 2141)

Al Imam An Nawawi memberikan penjelasan bahwa hadits-hadits di atas mengandung makna penggantian nama yang jelek atau nama yang dibenci menjadi nama yang baik. Telah pasti pula adanya hadits-hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengganti nama banyak sahabat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan pula bahwa alasan penggantian nama ini ada dua, yaitu karena mengandung tazkiyah (pensucian) atau dikhawatirkan terjatuh pada tathayyur. (Syarh Shahih Muslim, 14/120-121)

Kita lihat dalam kisah Ibnu 'Umar di atas, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak mengganti nama putri 'Umar bin Al Khaththab menjadi Muthi'ah (wanita yang taat) – padahal lawan dari kata 'Ashiyah adalah Muthi'ah – karena ditakutkan nama tersebut mengandung tazkiyah. ('Aunul Ma'bud, 13/201)

Ada satu hal yang perlu diketahui, dalam Islam disyariatkan memanggil seseorang dengan nama kunyah walaupun orang itu belum memiliki anak. Demikian pula yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada seorang anak kecil, seperti yang kita dengar dalam penuturan oleh Anas bin Malik:

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan aku mempunyai saudara laki-laki yang telah disapih bernama Abu 'Umair. Apabila Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang kemudian melihatnya, beliau biasanya mengatakan: 'Wahai Abu 'Umair! Apa yang dilakukan burung kecilmu?' Dia biasa bermain-main dengan burung kecil itu." (HR. Muslim no. 2150)

Perbuatan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ini menunjukkan bolehnya memberikan nama kunyah kepada seseorang yang belum memiliki anak atau kepada anak-anak, dan ini bukan termasuk dusta. Demikian dijelaskan oleh Al Imam An Nawawi ketika membicarakan hadits ini. (Syarh Shahih Muslim, 14/129)

Manakala telah gamblang tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, apakah selayaknya seorang ayah atau seorang ibu –yang ingin mempersembahkan seluruh kebaikan bagi putra-putrinya yang mengemban segenap harapan mereka– akan melalaikan hal ini? Karena bagaimanapun, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam.

Wallahu ta'ala a'lamu bish-shawab.